Tenaga dalam atau
Krachtologi (berasal dari perkataan
KRACHTOS yang berarti tenaga dan
LOGOS yang berarti ilmu). Pada
4000 SM,
Krachtologi sudah dikenal oleh orang-orang Mesir Kuno. Dalam sebuah
buku Papyrus "Yedimesish Ontologia" yang sudah disalin dalam bahasa Gri
Kuno, menceritakan, bila otot bahu digerakkan akan mengeluarkan tenaga
aneh sehingga dapat merobohkan orang yang sedang marah (diktat Ameta,
Krachtologi 23).
Dari
Mesir, Krachtologi berkembang ke
Babylon,
Yunani,
Romawi dan
Persia. Di Persia tenaga semacam ini dinamakan
Dacht.
Dalam Dahtayana disebutkan bahwa pada suku Bukht dan Persia, terkenal
ilmu perang dinamakan DAHTUZ ialah merobohkan musuh dari jarak jauh.
Kaum bangsawan Persia dilatih sejenis senam waktu dinihari sehingga
mereka mempunyai tenaga Daht itu. (Kracht 23). Dikatakannya pula bahwa
orang-orang Badwi mempunyai Daht pada matanya, bila musuh akan
menyerangnya, tiba-tiba musuh itu roboh. Mengapa orang-orang Badwi
banyak mempunyai kekuatan mata seperti itu ? Hal ini disebabkan
orang-orang Badwi dengan tanpa disadari melatih matanya dengan melihat
jauh, memandang padang pasir yang luas membentang itu.
Di Cina terkenal beberapa macam silat yang mempergunakan Kracht, di antaranya
Gin Kang
(ilmu meringankan tubuh) yang dapat dipergunakan melompat jauh, loncat
tinggi dan berjalan diatas air. Kwie Kang dan Wie Kang hampir bersamaan,
perbedaanya hanya pada jurus pertama. Kwie Kang dengan jurus tinju dan
Wie Kang dengan jurus terbuka.
Masuknya pengaruh Cina ke Indonesia
Wie Kang yang disebut jurus sepuluh, tersebar sampai
Vietnam,
Campa,
Malaya, dan
Indonesia. Tumbuhlah menjadi beberapa aliran, di antaranya silat Mandar dari
Sulawesi, silat Timpung dari
Jawa Timur dan silat Nampon dari
Jawa Barat, dan sebagainya.
Shurulkhan pun masuk ke Indonesia dan pembawanya ialah orang-orang
Cina Islam. Di antaranya orang Indonesia pertama yang belajar Shurulkhan
ialah
Tuanku Rao. Orang-orang Cina Islam menamakan silat itu Tou Yu Kang.
1
Penyebaran ilmu tenaga dalam di Indonesia
Generasi Awal
Pada awalnya tenaga dalam hanya dipelajari secara terbatas di
berbagai perguruan silat. Para pendekar silat yang tercatat sebagai guru
bagi para pendiri perguruan silat tenaga dalam generasi berikutnya
antara lain:
- Abah Khoir, yang mendirikan silat Cimande, Cianjur
- Bang Madi, dari Batavia
- Bang Kari, dari Batavia
- Bang Ma'ruf, dari Batavia
- Haji Qosim, dikenal juga dengan nama Syahbandar atau Subandari, dari kerajaan Pagar Ruyung
- Haji Odo, seorang kiai dari pesantren di Cikampek
Perlu menjadi catatan bahwa pada masa Bang Madi, Bang Kari ini belum
dikenal teknik pukulan tenaga dalam atau pukulan jarak jauh. Silat yang
diajarkan oleh Madi, Kari dan Syahbandar lebih bersifat fisik.
Baik Madi, Kari dan Syahbandar dikenal sebagai pendekar silat (fisik)
pada masanya. H. Qosim yang kemudian dikenal sebagai Syahbandar atau
Mama’ Subadar karena tinggal dan disegani masyarakat desa Subadar di
wilayah Cianjur. Sedangkan Madi dikenal sebagai penjual dan penjinak
kuda binal yang diimpor asal Eropa.
Dalam dunia persilatan Madi dikenal pakar dalam mematah siku lawan
dengan jurus gilesnya, sedangkan Kari dikenal sebagai pendekar asli
Benteng Tangerang yang juga menguasai jurus-jurus kung fu dan ahli dalam
teknik jatuhan.
Pada era Syahbandar, Kari dan Madi banyak pendekar dari berbagai
aliran berkumpul di Batavia. Batavia seakan menjadi pusat barter ilmu
bela diri dari berbagai aliran, mulai dari silat Padang, silat Betawi
kombinasi kung fu ala Bang Kari, juga aliran Cimande yang dibawa oleh
Khoir.
Penyebaran ilmu tenaga dalam secara terbuka
Perkembangan sejarah tenaga dalam dan penyebarannya secara terbuka di pulau Jawa diwarnai oleh beberapa tokoh penting, yaitu
- H. Muhammad Toha, mendirikan Sin Lam Ba di Jakarta, 1896
- S. Andadinata, mendirikan Margaluyu di daerah Rancaekek, Bandung, 1922
- Nampon, mendirikan Pencak Nampon Trirasa di Bandung, 1932.
- H. Abdul Rosyid, mendirikan Budi Suci di Bogor pada tahuan 1930-an
- Abah Syaki ( Haji Abdul Syukur ) pendiri Al-Hikmah, Banten
Tenaga dalam kemudian merambah ke wilayah timur (Jawa Tengah dan Jawa
Timur)setelah KH Muhaiminan dari Pesantren Bambu Runcing Parakan,
Temanggung berguru kepada Abah Syaki, juga murid H Abdul Rosyid bernama
Sidik asal Indramayu yang mengajarkan tenaga dalam Budi Suci di wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengembangan Al-Hikmah melalui jalur pesantren, sedangkan Budi Suci
lebih bercorak Jawa - Islam. Pengembangan Budi Suci tidak terlepas dari
jasa Qosim dan Zainal Abidin putra Sidik dan beberapa murid Sidik, di
antara Bang Ali Semarang dan murid-muridnya di Sirahan, Cluwak, Pati.
Pendirian Paguyuban Pencak Silat Nampon [1]
Pada akhir
abad ke-19 Pencak Silat Nampon telah dipelajari secara terbatas tetapi baru dikenal luas pada tahun
1932
ketika Nampon melakukan aktivitas nyleneh di depan stasiun Padalarang.
Saking girangnya menyambut kelahiran anak pertamanya, Nampon diluar
kesadarannya berteriak-teriak seperti orang gila. Karena dianggap gila,
Nampon hendak diringkus beramai-ramai. Namun dari sekian orang yang akan
menjamah tubuhnya jatuh terpelating.
Pada tahun 1920, Tjoa Nam Fu, China peranakan Semarang mengajarkan
silat Kaifeng pembangkit manit krach, seorang muridnya bernama Mahmud
dari Sarikat Islam. Kelak Mahmud setelah mendapatkan jurus-jurus Kaifeng
bergelar Nampon (dari kata Namfu)
Nampon lahir di Ciamis pada tahun
1888
dan wafat tahun 1962. Semula adalah pegawai di jawatan kereta api di
zaman Belanda. Ia dipecat dan berulang kali masuk bui karena sikapnya
yang anti penjajah Belanda. Di antara murid Nampon yang berjasa ikut
mengembangkan tenaga dalam adalah Setia Muchlis dan KM Tamim yang
kemudian mendirikan perguruan TRI RASA yang banyak diikuti kalangan
Mahasiswa di Bandung, di antaranya murid itu adalah Bung Karno dan M
Natsir.
Menurut kalangan pendekar sepuh di wilayah Jawa Barat, sebelum
memperkenalkan “jurus tenaga dalam“ Nampon banyak belajar ilmu dari
pendekar yang lebih senior. Ia pernah berguru pada Abah Khoir pencipta
silat Cimande, dan pendekar-pendekar asal Batavia di antaranya Bang
Madi, Bang Kari, Bang Ma’ruf juga H Qosim pendekar yang diasingkan
kerajaan Pagar Ruyung, Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.
Aliran bercorak Nampon menyebar ke Jawa Tengah melalui perguruan
Ragajati, JSP (jurus seni penyadar) dan beberapa aliran tanpa nama.
Kini ketika perguruan tenaga dalam menjamur hampir di seluruh kota
dengan bendera yang berbeda-beda (walau corak jurus dan oleh napas
serupa), kemudian muncul pertanyaan, dari mana asalnya ilmu tenaga dalam
dan siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya?
Pendirian Margaluyu
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Margaluyu
Aliran yang didirikan
Abah Andadinata
pada awalnya bernama Marga Rahayu namun kemudian diubah menjadi
Margaluyu dan mulai dikenalkan pada pada khalayak pada tahun 1932,
tetapi pada tahun 1922 aliran itu sudah diperkenalkan dalam lingkup yang
terbatas.
Margaluyu justru berkembang pesat di wilayah Yogyakarta, dan banyak
guru yang belajar dari aliran ini kemudian mendirikan perguruan dengan
nama baru.
Anandinata memiliki beberapa murid, di antaranya Dan Suwaryana, dosen
ASRI yang juga wartawan di Yogyakarta. Dari Dan Suwaryana ini kemudian
“pecah” (berkembang) lebih dari 17 perguruan tenaga dalam besar yang
kini bermarkas di kota gudeg, Yogyakarta, di antaranya Prana Sakti yang
dikembangkan Drs. H. Asfanudin Panjaitan, alumnus Fisipol UGM, Jurusan
Publisistik.
Menurut berbagai pihak yang dapat dipercaya, perguruan-perguruan yang terinspirasi oleh Prana Sakti di antaranya :
- Prana Shakti Jayakarta
- Prana Sari Padang
- Satria Nusantara
- Pendawa Padma
- Radiasi Tenaga Dalam
- Kalimasada
- Bunga Islam
- Al-Barokah
- Indonesia Perkasa
- Al-Barokah
- Al-Ikhlas
- dll.
Konon, keilmuan yang ada pada Margaluyu itu sendiri memiliki silsilah
dari para Wali di tanah Jawa, yang apabila diruntut yaitu dari Syekh
Datul Kahfi – Prabu Kian Santang / P.Cakrabuana (Setelah masuk Islam
dikenal sebagai Sunan Rahmad Suci Godong Garut) kemudian ke : Sunan
Gunung Jati dan dari beliau turun ke Anandinata.
Hingga kini sejarah tenaga dalam masih misteri, siapa tokoh yang
pertama kali menciptakannya. Para pinesepuh juga tidak memiliki
referensi yang kuat berkaitan dengan sejarah perguruan dan pencetusnya.
Budi Suci
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Budi Suci
Perguruan Budi Suci didirikan oleh Haji Abdul Rosyid. Aliran ini
banyak menyebar ke Jawa dan Sumatra. Sidik, murid dari H Abdul Rosyid,
pada tahun 1985 mengatakan bahwa jurus tenaga dalam Budi Suci diwarnai
keilmuan Abah Khoir dan Nampon. Begitu halnya dengan aliran yang banyak
berkembang di Jawa Tengah, seperti Ragajati di Banyumas, JSP (Jurus Seni
Penyadar) di Tegal dan beberapa aliran di Semarang.
Di pulau Jawa, Budi Suci berkembang di wilayah pantai utara ke arah
timur mulai dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Cikampek, Kuningan,
Indramayu dan Cirebon, Semarang, Rembang dan tahun 1983 di Sirahan,
Cluwak, Pati Utara.
Dari kalangan Budi Suci atau perguruan yang mengambil sumber dari
aliran yang didirikan H Abdul Rosyid ini setidaknya ada 3 nama tokoh
yang disebut-sebut dalam “ritual” yaitu Madi, Kari dan Syahbandar.
Dari aliran Budi Suci yang keilmuannya konon bersumber dari Khoir dan
Nampon, juga tidak berani mengklaim bahwa tenaga dalam itu bersumber
(hanya) dari Nampon seorang. Begitu halnya kalangan yang mengambil
sumber dari Margaluyu.
Kalangan Budi Suci, menganalisa bahwa Namponlah yang patut dianggap
sebagai pencipta, karena dalam ritual (wirid), nama-nama yang disebut
adalah Madi, Kari dan Syahbandar (Syeh Subandari), sedangkan nama Nampon
tidak disebut-sebut. Ini menunjukkan bahwa inspirasi ilmu berasal dari
tokoh sebelum Nampon, walau nampon yang kemudian merangkum dan
menyempurnakannya. Namun kesimpulan itu diragukan mengingat pada masa
pendekar Madi, Kari, Sahbandar ini tenaga dalam belum dikenal.
Terbukti, dalam suatu peristiwa saat Madi diserang kuda binal juga
mematahkan kaki kuda dengan tangkisan tangannya, dan Khoir guru dari
Nampon saat bertarung dengan pendekar Kung Fu, juga menggunakan
selendang untuk mengikat lawannya pada pohon pinang. Artinya, jika
tenaga dalam itu sudah ada, dan mereka-mereka itu adalah pakarnya,
kenapa musti pakai selendang segala? Kenapa tidak pakai “jurus kunci”
agar pendekar Kung Fu itu tidak bisa bergerak.
Justru pemanfaatan tenaga dalam itu baru tercatat pada era Nampon
tahun 1930-an. Kasus “histeris” saat menyambut kelahiran anaknya di
depan stasiun Padalarang, dan pertarungan Nampon dengan Jawara Banten
juga saat melayani tantangan KM Thamim yang (setelah kalah) lalu berguru
kepadanya.
Silat Bandarkarima
Bandarkarima adalah kependekan dari Syahbandar, Kari dan Madi. Yosis
Siswoyo, Guru Besar aliran Bandarkarima Bandung saat dikonfirmasi,
mensinyalir bahwa kemunculan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat secara
terbuka memang terjadi pada masa Nampon sepulang dari penjara Digul.
Namun demikian Yosis tidak berani memastikan pencipta jurus tenaga
dalam itu Nampon seorang, mengingat pada masa yang hampir bersamaan, di
Batavia/Jakarta juga muncul aliran Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, bahkan pada
tahun yang hampir bersamaan, di daerah Ranca Engkek Bandung Andadinata
memunculkan ilmu tenaga dalam yang diklaim asli hasil pemikirannya
sendiri.
Yosis Siswoyo (63) dari Silat Bandarkarima termasuk kalangan pendekar
generasi tua di Bandung juga mengakui dari kalangan perguruan pencak
silat dan tenaga dalam memang kurang mentradisikan dalam pelestarian
sejarah perguruannya.
Walau Yosis menyebut Nampon dan Andadinata sebagai tokoh yang banyak
berjasa mengenalkan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat, namun kemunculan
Sin Lam Ba dan Al-Hikmah di Batavia pada kurun waktu yang hampir
bersamaan, (bahkan disinyalir lebih dulu) juga perlu dipertimbangkan
bagi yang ingin melacak sejarah.
Tenaga dalam di Pantura Jawa
Perkembangan tenaga dalam di wilayah eks Karisedenan Pati tak lepas
dari peran Perguruan Satya dibawah asuhan alm. Soeharto – Semarang.
Satya berkembang di wilayah Pati awalnya dibawa oleh murid Soeharto
bernama Subiyanto asal Jepara. Namun Subiyanto kemudian membuat
perguruan Mustika. Walau perguruan ini hanya muncul sesaat kemudian
tidak terdengar lagi.
Pada akhir tahun 70-an Satya masuk wilayah Pati dengan corak yang
saat itu dianggap tabu karena berlatih pada tempat terbuka pada siang
hari. Ini berbeda dengan aliran lain yang memilih berlatih secara
sembunyi-sembunyi.
Satya lebih mudah diterima masyarakat karena sifatnya yang terbuka,
lebih njawani dan tidak bernaung dibawah partai politik tertentu bahkan
menerima anggota dari semua agama, walau dalam ritualnya Satya tidak
jauh beda dengan aliran Budi Suci yang dikembangkan oleh Bang Ali yang
saat itu juga banyak berkembang di Jawa Tengah.
Kesamaan Satya dengan Budi Suci disebabkan alm. Soeharto mengenal
jurus tenaga dalam itu berasal dari Yusuf di Tanjung Pinang, dan Yusuf
adalah murid dari alm. Sidik, salah satu dari murid H Abdul Rosyid sang
pendiri aliran Budi Suci.
Dalam lingkup pergruannya, Soeharto hampir tidak pernah
menyebut-nyebut nama Yusuf sebagai sang guru. Ini disebabkan adanya hal
yang sangat pribadi berkaitan dengan sang guru yang WNI keturunan itu.
Justru Soeharto lebih sering menyebut nama Sidik, walau pertemuan
keduanya itu baru berlangsung pada awal tahun 80-an.
Ketika Masruri, putra H. Ali Ridlo dan pengurus Satya Sirahan, Cluwak
berhasil menemukan Sidik di Cilincing, Jakarta Utara, lalu diboyong
untuk meneruskan pembinaan dari anggota Satya yang saat itu sudah pasif
dari berbagai kegiatan perguruan. Masruri belakangan dikenal sebagai
pengasuh rubrik "Liku-Liku Tenaga Dalam" di harian Suara Merdeka -
Semarang (tahun 1993 - 1996) juga penulis buku-buku tentang tenaga dalam
dan metafisika.
Kehadiran Sidik yang statusnya adalah Guru Besar Budi Suci ke Sirahan
ibarat meneruskan pelajaran lanjutan yang tidak terdapat pada kurikulum
Satya di bawah Soeharto. Selain pembaharuan dalam jurus dasar juga
meneruskan pada materi Jodoh Jurus dan Kembang Jurus ciptaan oleh Abah
Khoir sang pendiri Cimande dan sebagian sudah digubah oleh H Abdul
Rosyid yang di perguruan Satya jurus itu tidak dikenal.
Perguruan Satya Sirahan yang dipimpin H Ali Ridlo dan putranya,
Masruri yang keilmuannya sudah diwarnai Budi Suci ala Sidik yang
kemudian mengembangkan perguruan tenaga dalam di antaranya, HM Sadari di
Kelet, Keling, Jepara, Ustad M Masrur di Cepogo, Bangsri, Jepara,
Suhirlan di Ngaringan Purwodadi dan Sudono, adik kandung H Ali Ridlo
yang berdomisili di Rimbo Bujang, Bungo Tebo, Jambi.
Perkembangan Selanjutnya
Pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan perguruan tenaga dalam
layaknya MLM (Multi Level Marketing). Seseorang yang belajar pada suatu
perguruan memilih untuk mendirikan perguruan baru sesuai selera
pribadinya. Ini adalah gejala alamiah yang tidak perlu dimasalahkan,
karena setiap guru atau orang yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada
orang lain itu belum tentu sepaham dengan tradisi yang ada pada
perguruan yang pernah diikutinya.
Pertimbangan mengubah nama perguruan itu dilatarbelakangi oleh
hal-hal yang amat kompleks, mulai adanya ketidaksepahaman pola pikir
antara orang zaman dulu yang mistis dan kalangan modernis yang
mempertimbangkan sisi kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping
pertimbangan dari sisi komersial. Yang pasti, misi orang mempelajari
tenaga dalam pada masyarakat sekarang sudah mulai berubah dari yang
semula berorientasi pada ilmu kesaktian menuju pada gerak fisik (olah
raga) karena orang sekarang menganggap lawan berat yang sesungguhnya
adalah penyakit. Karena itu, promosi perguruan lebih mengeksploitasi
kemampuan mengobati diri sendiri dan orang lain.
Aliran perguruan tenaga dalam yang mengeksploitasi kesaktian kini
lebih diminati masyarakat tradisional. Dan menurut pengamatan beberapa
pihak, perguruan ini justru sering “bermasalah” disebabkan pola
pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap “kejawaraan” melalui
doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran lain dari sesama
perguruan tenaga dalam maupun bela diri dari luar (asing).
Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan sikap para tokoh seperti
Bang Kari yang selalu wanti-wanti agar siapapun yang mengamalkan bela
diri untuk selalu memperhatikan “sikap 5” yaitu :
- Jangan cepat puas.
- Jangan suka pamer.
- Jangan merasa paling jago.
- Jangan suka mencari pujian dan
- Jangan menyakiti orang lain.
Dan perlu diingat, perkembangan pencak silat sebagai dasar dari
tenaga dalam itu, baik pelaku maupun keilmuannya dapat berkembang karena
silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar Ruyung Padang yang
dibawa H Kosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang merangkum
silat Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH.
Ibrahim dengan Cikalongnya.
Rangkapan Fisik
Setiap perguruan tenaga dalam memberikan sumbangsih tersendiri bagi
masyarakat Indonesia. Margaluyu menorehkan tinta emas sebagai perguruan
tua yang banyak mengilhami hampir sebagian besar perguruan di Indonesia,
dan cabang-cabang dari perguruan ini banyak berjasa bagi pengembangan
tenaga dalam yang ilmiah dan universal.
Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat Tauhid Indonesia berjasa dalam
memberikan napas religius bagi pesertanya, dan aliran Nampon berjasa
dalam memberikan semangat bagi para pejuang di era kemerdekaan.
Terlepas dari sisi positif dari aliran-aliran besar itu, pengembangan
aliran tenaga dalam yang kini masih memilih corak pengembangan bela
diri dan kesaktian itu justru mendapat kritik dari para pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm. Sidik murid dari H Abdul Rosyid saat berkunjung
ke Desa Sirahan, Cluwak, Pati dan menyaksikan cara betarung (peragaan)
suatu perguruan “pecahan” dari Budi Suci, menyayangkan kenapa sebagian
besar dari siswa perguruan tenaga dalam itu sudah meninggalkan teknik
silat (fisik) sebagai basic tenaga dalam.
Artinya, saat diserang mereka cenderung diam dan hanya mengeraskan
bagian dada/perut. Kebiasaan ini menurutnya suatu saat akan menjadi
bumerang saat harus menghadapi perkelahian diluar gelanggang latihan.
Karena saat latihan hanya dengan “diam” saja sudah mampu mementalkan
penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan tenaga dalam itu
mudah sekali.
Mereka tidak sadar bahwa dalam perkelahian di luar gelanggang latihan
itu, suasananya berbeda. Dalam arena latihan yang dihadapi adalah teman
sendiri yang sudah terlatih dalam menciptakan emosi (amarah).
Cara bela diri memanfaatkan tenaga dalam yang benar menurut Alm.
Sidik sudah dicontohkan oleh Nampon saat ditantang jawara dari Banten
dan saat akan dicoba kesaktiannya oleh KM Tamim. Yaitu, awalnya mengalah
dan berupaya menghindar namun ketika lawan masih memaksa menyerang,
baru dilayani dengan jurus silat secara fisik, menghindar, menangkis dan
pada saat yang dianggap tepat memancing amarah dengan tamparan ringan
dan setelah penyerang emosi, baru menggunakan tenaga dalam.
Pola pembinaan bela diri yang tidak lengkap yang hanya fokus pada
sisi batin saja, sering menjadi bumerang bagi mereka yang sudah merasa
memiliki tenaga dalam sehingga terlalu yakin bahwa bagaimanapun bentuk
serangannya, cukup dengan diam (saja) penyerang pasti mental. Dan ketika
mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya, ternyata menggunakan tenaga
dalam tidak semudah saat berlatih dengan teman seperguruannya.
Fenomena pembinaan yang sepotong-potong ini tidak lepas dari
keterbatasan sebagian guru yang pada umumnya hanya pernah “mampir” di
perguruan tenaga dalam. Sidik mengakui banyak orang yang belajar di Budi
Suci hanya bermodal “jurus dasar” saja sudah banyak yang berani membuka
perguruan baru. Padahal dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus.
Yaitu, Dasar Jurus – Jodoh Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).
Karena tergesa-gesa ingin membuka aliran baru itu menyebabkan siswa
sering tidak siap disaat harus menggunakan tenaga dalamnya. Dan Yosis
Siswoyo dari Bandarkarima memberikan konsep bahwa keberhasilan
memanfaatkan tenaga dalam ditentukan dari prinsip “min-plus” yang dapat
diartikan : Biarkan orang berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap
bertahan dan sabar.
Karena itu pembinaan fisik, teknik bela diri fisik, teknik,
kelenturan, refleks dan mental bertarung perlu ditanamkan terlebih
dahulu karena kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih disebabkan
mental yang belum siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam
setelah perkelahian itu sudah usai.
Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam berfungsi baik justru disaat
pemiliknya “tidak sengaja” dan terpaksa harus bertahan dari serangan
orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu sering gagal justru
disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya untuk “berkelahi” dan
akan lebih gagal total jika tenaga dalam itu digunakan untuk mencari
masalah.
Tenaga dalam harus bersifat defensif atau bertahan. Biarkan orang
marah dan tetaplah bertahan dengan sabar dan tak perlu mengimbangi
amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam mengimbangi amarah, maka
rumusnya menjadi “plus ketemu plus” yang menyebabkan energi itu tidak
berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci menjabarkan konsep “min – plus”
itu dengan sikap membiarkan lawan “budi” (bergerak/amarah) dan tetap
mempertahankan “suci” (sabar, tenang).
Memposisikan diri tetap bertahan (sabar, tenang) sangat ditentukan
tingkat kematangan mental. Dan pada masa Nampon dan H Abdul Rosyid,
tenaga dalam banyak berhasil karena dipegang oleh pendekar yang sudah
terlatih bela diri secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi
penyerang mentalnya tetap terjaga.
Sekarang semua sudah berubah. Orang belajar tenaga dalam sudah
telanjur yakin bahwa serangan lawan tidak dapat menyentuh sehingga fisik
tidak dipersiapkan menghindar atau berbenturan. Dan karena tidak
terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul justru rasa
takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari konsep
“min-plus”.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka yang mengikuti
suatu aliran tenaga dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah itu dapat
menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit, bahkan memunculkan
“anekdot spiritual” sebagaimana dilakukan seorang guru tenaga dalam yang
karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki jawaban lalu
menjelaskan bahwa orang-orang yang ditokohkan dalam perguruan itu dengan
jawaban yang mengada-ada.
Misalnya, Saman adalah seorang Syekh dari Yaman, Madi disebut sebagai
Imam Mahdi, Kari adalah Imam Buchori, Subandari adalah Syeh Isbandari.
Dan jawaban seperti itu tidak memiliki dasar dan konon hanya berdasarkan
pada kata orang tua semata.