i
MAKALAH
(SEJARAH SOSIAL EKONOMI)
“KAJIAN TENTANG KEHIDUPAN EKONOMI MASA KOLONIAL”
DISUSUN OLEH :
1.
FAIDIN
2.
BQ IMELDA
VIOLINA
3.
MIRANIM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM (UMM)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (FKIP)
2012/ 2013
ii
KATA PENGANTAR
Tidak ada frase yang tepat untuk diucapkan selain puji dan
syukur kehadirat allah SWT yang maha arif dan bijaksana yang telah memberikan
taufik dan hidayahnya serta nikmat yang terhitung kepadanya,sehingga makalah
ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan nilai dari pelajaran ini.
Sholawat
serta salam ditunjukan hanya kepada figur yang sempurna yang senantiasa menjadi
panutan dan teladan bagi umat manusia yaitu nabi besar Muhammad SAW,yang telah
mengubah kehidupan dunia menjadi islam.Makalah ini dengan judul . “KAJIAN TENTANG KEHIDUPAN EKONOMI MASA
KOLONIAL”
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1.Latar belakang.......................................................................... 1
1.2.Rumusan masalah.................................................................... 1
1.3.Tujuan penulisan...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
2.1. Kehidupan ekonomi masa Kolonial……………………………………………………..4-8
BAB III PENUTUP..................................................................................... 9
3.1.Kesimpulan............................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk
kerja rodi.
Akibatnya, tidak sedikit korban yang meninggal dari kebijakan ini.
Selain itu, kemiskinan dan kemelaratan timbul di mana-mana. Hal ini terjadi
karena rakyat tidak memiliki kesempatan untuk mengerjakan sawah, ladang, dan
peternakannya. Seluruh waktunya dihabiskan untuk kerja rodi.
Terdapat pula penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan kebijakan Sistem
Sewa tanah, sebagai berikut:
Tanah yang diserahkan untuk ditanami tanaman ekspor lebih dari seperlima,
bahkan kadang-kadang setengahnya.
Tanah yang dipilih untuk ditanami tanaman ekspor adalah tanah yang subur
sehingga tanah yang tersisa untuk penduduk hanya tanah-tanah yang kurang subur.
Waktu bekerja pada pemerintah untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan lebih
dari ketentuan 66 hari.
Lahan yang disediakan untuk tanaman ekspor tetap dikenakan pajak.
Rumusan masalah
Berdasarkan
judul dan latar belakang karya ilmiah ini
maka yang jadi rumusan masalahnya adalah :
·
Apa yang terjadi
pada masa colonial tentang ekonomi?
·
Bagaimana mahluk
pribumi bertahan hidup pada masa kolonial?
Tujuan penulisan
Kami bertujuan untuk membagi ilmu yang kami rangkul dalam satu
karya ilmiah yakni Makalah kami berharap Makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca dan disebarluaskan kepada rekan –rekan pembaca yang lain. Pengungkapan
secara lebih luas diharapkan dapat mengugah minat generasi muda untuk mengkaji
secara lebih mendalam tentang apa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan
Indonesia. juga untuk dijadikan sebagai suatu bentuk dokumentasi kami anak
sejarah hususnya angkatan tahun 2011/muhamaddyah mataram.
BAB II
PENBAHASAN
2.1. Kehidupan ekonomi masa Kolonial
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia,
melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai
juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan
Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di
masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat
kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat
besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan
uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun
pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya
picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas,
karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan
Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus
diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan
ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan
di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu
bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga
lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia
secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam
perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian
Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde
lama, orde baru, dan masa reformasi.
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad
diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini
sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan
berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk
pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang
diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan
tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah
pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik
yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa
tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan
dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa
dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris
menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli
produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith
bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang
dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan
maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit
dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma
seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia
Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk
menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah
dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang
didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi
jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas
inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi
yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan
pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,
tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan
penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan
dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini,
seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan
berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan
penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman
komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk
kemudian
dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel
melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan
tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas
dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan
darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi
uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah
Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor
yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup
masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah
penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan
teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari
keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima
sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian
lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat,
sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan
kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya
desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga
pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru,
yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak
boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik,
antara lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang
mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi
sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas
ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar
dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta,
walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai
penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang
pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya
ekonomi
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya,
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pada sistem pemerintahan kolonial, pemerintahan dikendalikan
oleh orang-orang Belanda dan para penguasa pribuminya atas dasar perintah dari
Gubernur Jendarl. Raja-raja tidak lagi dapat memerintah sesuai dengan tradisi
yang diterima secara turun tenurun, tetapi disesuaikan dengan sistem
pemerintahan Belanda.
Sejak VOC di bubarkan tahun 1799,
perkembangan perekonomian bangsa Belanda mengalami masa yang sangat suram.
Mundurnya kegiatan ekonomi bangsa Belanda pada masa itu di sebabkan karena
negeri Belanda menjadi anggota koalisi untuk menghadapi pemerintah Napoleon
Bonaparte dari Perancis. Untuk mengatasi ekonomi negara seperti ini, pemerintah
kolonial mencoba untk menggali potensi Indonesia melalui pelaksanaan tanam
paksa.
Setelah tanam paksa di hapuskan, sistem
ekonomi yang di terapkan oleh pemerintah kolonial Belanda bersifat liberal dan
mengembangkan sistem ekonomi kapitalisme.
Pengusaha Swasta Belanda maupun orang-orang Eropa lainnya,
lebih banyak mengusahakan perkebunan-perkebunan dengan tanaman yang laku di
pasar Eropa. Selain itu , juga banyak yang terjuan dalam bidang pertambangan.
Sementara orang Timur Asing yang terjuan dalam bidang perekonomian di antaranya
sebagai pedagang kelontong dan menguasai pusat-pusat perekonomian yang di
anggap strategis seperti mengontak pasar kepada pemerintahan kolonial belanda,
sehingga setiap orang yang memasuki pasar, baik sebagai pedagang dan pembeli
harus membayar sewa masuk.
DAFTAR PUSTAKA